Tuesday 15 January 2013

SEJARAH LARAS DAN SENAPAN CIPACING






  1. Bila mendengar  nama suatu daerah di wilayah Jawa Barat  nama CIPACING salah satu desa    kecamatan Cikeuruh sekarang Jatinangor kabupaten Sumedang . Pasti terbayang suatu tempat yang memproduksi SENAPAN ANGIN.Nah sekarang pasti harus ada siapa asal mula pembuat senapan di daerah CIPACING tersebut.
      
  • Sejarah pembuatan Laras dan Senapan Cipacing dapat saya ceritakan sebagai berikut :
      
Berawal masih jaman penjajahan belanda dan jepang, seorang penduduk asli cipacing bernama ABAR SHAHBAR (Alm)  muda, yang berusaha mencari penghidupan nya, dengan memulai pekerjaannya menjadi tukang patri seng , menambal barang - barang rumah tangga dan lembaran seng yang bocor berkeliling kampung,
       kemudian dalam perjalanan hidupnya juga  mencoba membuat barang - barang yg jaman itu sangat diperlukan , yaitu dengan membuat sikat gigi, dan ada yang menyuruh membuat jarum jahit dan teropong (spindel benang tenun /yg sampai sekarang masih diproduksi).
       Suatu waktu ketika seperti biasa menjajakan barang buatannya ke Bandung , ada seorang pemilik toko yang memanggilnya dan memperlihatkan dia punya senapan - senapan luar negeri yang masih berbentuk spearpart. dia menyuruh untuk merakitnya sampai bentuk senapan jadi. sejak itulah mengenal yang namanya senapan angin yang diproduksi jaman itu.

Tuesday 1 January 2013

BAGAIKAN PERCIKAN AIR HUJAN

                            


     Kitakah Yang Takut Mencintai, Takut Dicintai dan Takut Jatuh Cintai
 

Cinta adalah sebuah kata yang paling menghebohkan di abad ini. Coba saja tengok tema sinetron – sinetron sampai telenovela, ketoprak humor sampai film – film laga, lagu – lagu nasional sampai internasional dari campur sari, dangdut, pop sampai R & B, dan puisi – puisi kacangan khas pinggiran jalan. Tak luput pula slogan – slogan politik, dari Cinta produksi dalam negri, kami cinta indonesia, cinta tanah air dan bangsa, dan slogan – slogan lainnya.

Cinta mendapat muaranya sendiri dari anak balita, remaja, pemuda sampai dewasa. Seolah – olah adalah benar ungkapan “Live Without Love As a Sky without Star”, hidup tanpa cinta adalah bagaikan malam tanpa bintang. Duh betapa gelap dan suramnya malam itu.

Atau bagi pecinta makanan akan berkata hidup tanpa cinta adalah bagikan sayur asam tanpa garam. Walau sebenarnya yang namanya sayur asam kan yang penting asam bukan asin, kalau asin namanya asinan sayur, tul gak?

Jadi adalah lumrah – kata para pecinta – kalau ada muda mudi yang memadu cinta walau masih SMP kelas dua bahkan mungkin walau belum lulus Te Ka. Jalan kemana – mana berdua, mau makan ingat dia, atau SMS – an pakai Handphone papa (wah ketahuan dong).

Nah, gaswatnya. Eh, gawatnya. Fenomena ini mulai merambah kelompok yang dulu punya slogan “ Takut Mencintai, Takut Dicintai dan Takut Jatuh Cinta”. Mereka sudah mulai mencoba – coba (anggap oknum saja) untuk mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya. Ukhti atau Akhi, ana uhibbuka fillah.

Kalau lihat konteks kalimatnya dan riwayat haditsnya mungkin akan terkesan biasa – biasa saja. Karena ungkapan itu kan artinya kita mencintai saudara semuslim kita karena Allah. Tapi kalau ucapan itu didasari oleh niat agar ada hubungan lebih diantara dua insan yang berlainan jenis, dan ucapan itu hanya diungkapkan pada si dia, lewat SMS bersyair cinta atau lewat surat merah jambu bergambar bunga maka tentu akan lain maknanya.

Sehingga ketika fenomena penyebaran virus itu terlihat pada para anggota remaja masjid maka jadilah sebuah istilah baru “Masjid Biru”, atau ketika menyerang para aktivis Lembaga Dakwah Kampus maka jadilah ia “Kampus Biru” (mohon maaf buat kampus yang dikenal sebagai kampus biru), atau ketika virus itu menerpa para aktivis partai dakwah di DPRa dan DPC maka keluarlah istilah “Partai Biru”.

Apakah karena sekarang dakwah telah terbuka, dimana pertemuan – pertemuan yang berbaur walau terpisah maka jadi benarlah pepatah jawa “ Tresno Mergo Soko Kulino”, cinta bermuara karena sering bersama. Bersama dalam satu tempat kegiatan, bersama karena sering berinteraksi lewat SMS, atau bersama dalam alam hayalan ketika umur sudah selayaknya menikah sehingga seolah – olah mengkapling – kapling seseorang untuk kita bayangkan sebagai pendamping hidup. Dan akhirnya lama – lama mekarlah benih cinta yang disuburkan oleh “kebersamaan” tersebut.

Saudaraku yang telah berikrar di jalan dakwah, marilah kita mengkoreksi kembali niatan kita berada di jalan dakwah ini. Untuk mencari ridlo Allah kah atau untuk mencari pendamping hidup kitakah? Kalau awalnya kita ingin mencari ridlo Allah, terus kemudian melenceng. Maka mari kita luruskan niat kita kembali. Kalau dari awal niatan kita untuk mencari pendamping hidup. Ingatlah bahwa hidup kita sementara. Masih ada kampung akhirat yang lebih kekal menanti. Dekatkan diri kita pada Allah dan mintalah kepada-Nya yang terbaik.

Jika anda adalah akhwat, dan anda melakukan ini karena tuntutan umur dan tuntutan orang tua yang ingin cepat mendapatkan menantu. Dan anda melihat realita ummat lebih banyak aktivis dakwah dari kalangan akhwat dibanding ikhwan, dan anda takut tidak kebagian. Maka ingatlah bahwa Allah adalah pengatur hidup kita. Ingatlah bahwa tinta telah kering dan lembaran telah ditutup. Apa yang telah ditulis di Lauh Mahfudz tak akan berubah kecuali dengan Irodah-Nya. Maka dekatkan diri anda kepada Dzat yang memiliki dan menguasai Catatan Kehidupan itu. Dan jika anda ingin mendapatkan seorang suami seperti Sayidina Ali, maka tingkatkanlah kualitas anda untuk menyamai Fatimah Az Zahra.