Kitakah Yang Takut Mencintai, Takut Dicintai dan Takut Jatuh Cintai
Cinta
adalah sebuah kata yang paling menghebohkan di abad ini. Coba saja
tengok tema sinetron – sinetron sampai telenovela, ketoprak humor sampai
film – film laga, lagu – lagu nasional sampai internasional dari campur
sari, dangdut, pop sampai R & B, dan puisi – puisi kacangan khas
pinggiran jalan. Tak luput pula slogan – slogan politik, dari Cinta
produksi dalam negri, kami cinta indonesia, cinta tanah air dan bangsa,
dan slogan – slogan lainnya.
Cinta mendapat muaranya sendiri dari anak balita, remaja, pemuda sampai dewasa. Seolah – olah adalah benar ungkapan “Live Without Love As a Sky without Star”, hidup tanpa cinta adalah bagaikan malam tanpa bintang. Duh betapa gelap dan suramnya malam itu.
Atau
bagi pecinta makanan akan berkata hidup tanpa cinta adalah bagikan
sayur asam tanpa garam. Walau sebenarnya yang namanya sayur asam kan
yang penting asam bukan asin, kalau asin namanya asinan sayur, tul gak?
Jadi
adalah lumrah – kata para pecinta – kalau ada muda mudi yang memadu
cinta walau masih SMP kelas dua bahkan mungkin walau belum lulus Te Ka.
Jalan kemana – mana berdua, mau makan ingat dia, atau SMS – an pakai
Handphone papa (wah ketahuan dong).
Nah,
gaswatnya. Eh, gawatnya. Fenomena ini mulai merambah kelompok yang dulu
punya slogan “ Takut Mencintai, Takut Dicintai dan Takut Jatuh Cinta”.
Mereka sudah mulai mencoba – coba (anggap oknum saja) untuk
mengungkapkan apa yang menjadi isi hatinya. Ukhti atau Akhi, ana
uhibbuka fillah.
Kalau
lihat konteks kalimatnya dan riwayat haditsnya mungkin akan terkesan
biasa – biasa saja. Karena ungkapan itu kan artinya kita mencintai
saudara semuslim kita karena Allah. Tapi kalau ucapan itu didasari oleh
niat agar ada hubungan lebih diantara dua insan yang berlainan jenis,
dan ucapan itu hanya diungkapkan pada si dia, lewat SMS bersyair cinta
atau lewat surat merah jambu bergambar bunga maka tentu akan lain
maknanya.
Sehingga
ketika fenomena penyebaran virus itu terlihat pada para anggota remaja
masjid maka jadilah sebuah istilah baru “Masjid Biru”, atau ketika
menyerang para aktivis Lembaga Dakwah Kampus maka jadilah ia “Kampus
Biru” (mohon maaf buat kampus yang dikenal sebagai kampus biru), atau
ketika virus itu menerpa para aktivis partai dakwah di DPRa dan DPC maka
keluarlah istilah “Partai Biru”.
Apakah
karena sekarang dakwah telah terbuka, dimana pertemuan – pertemuan yang
berbaur walau terpisah maka jadi benarlah pepatah jawa “ Tresno Mergo Soko Kulino”,
cinta bermuara karena sering bersama. Bersama dalam satu tempat
kegiatan, bersama karena sering berinteraksi lewat SMS, atau bersama
dalam alam hayalan ketika umur sudah selayaknya menikah sehingga seolah –
olah mengkapling – kapling seseorang untuk kita bayangkan sebagai
pendamping hidup. Dan akhirnya lama – lama mekarlah benih cinta yang
disuburkan oleh “kebersamaan” tersebut.
Saudaraku
yang telah berikrar di jalan dakwah, marilah kita mengkoreksi kembali
niatan kita berada di jalan dakwah ini. Untuk mencari ridlo Allah kah
atau untuk mencari pendamping hidup kitakah? Kalau awalnya kita ingin
mencari ridlo Allah, terus kemudian melenceng. Maka mari kita luruskan
niat kita kembali. Kalau dari awal niatan kita untuk mencari pendamping
hidup. Ingatlah bahwa hidup kita sementara. Masih ada kampung akhirat
yang lebih kekal menanti. Dekatkan diri kita pada Allah dan mintalah
kepada-Nya yang terbaik.
Jika
anda adalah akhwat, dan anda melakukan ini karena tuntutan umur dan
tuntutan orang tua yang ingin cepat mendapatkan menantu. Dan anda
melihat realita ummat lebih banyak aktivis dakwah dari kalangan akhwat
dibanding ikhwan, dan anda takut tidak kebagian. Maka ingatlah bahwa
Allah adalah pengatur hidup kita. Ingatlah bahwa tinta telah kering dan
lembaran telah ditutup. Apa yang telah ditulis di Lauh Mahfudz tak akan
berubah kecuali dengan Irodah-Nya. Maka dekatkan diri anda kepada Dzat
yang memiliki dan menguasai Catatan Kehidupan itu. Dan jika anda ingin
mendapatkan seorang suami seperti Sayidina Ali, maka tingkatkanlah
kualitas anda untuk menyamai Fatimah Az Zahra.
|